Perilaku Menyimpang pada Remaja dan Solusinya
Masalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di
SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul
dalam bentuk perilaku. Berikut ada lima
daftar masalah yang selalu dihadapi para remaja di sekolah
1. Perilaku Bermasalah (problem
behavior). Masalah perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan
masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya dalam
proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan masyarakat.
Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang digelar sekolah
misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah yang menyebabkan seorang
remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan
secara tidak langsung pada seorang remaja di sekolah akibat perilakunya
sendiri.
2. Perilaku menyimpang (behaviour
disorder). Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang
menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya tidak
terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja mengalami
behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia tidak tenang,
unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang
pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang
mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak
karena persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian diri yang salah (behaviour
maladjustment). Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya
didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa
mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan melangar
peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah pada remaja di sekolah
menegah (SLTP/SLTA).
4. Perilaku tidak dapat membedakan
benar-salah (conduct disorder). Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak
mampu membedakan antara perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder
adalah munculnya cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari
aturan yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak
bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang tua
harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia memunculkan
perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak
memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang remaja di sekolah
dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial
baik secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan, tidak sopan
terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga
dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder yaitu
perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur permusuhan yang
akan merugikan orang lain.
5. Attention Deficit Hyperactivity
disorder, yaitu anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat
menerima impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan
menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami
kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam
menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif tersebut
tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah
terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam
bermain bersama dengan temannya.
Peranan Lembaga Pendidikan Untuk
tidak segera mengadili dan menuduh remaja sebagai sumber segala masalah dalam
kehidupan di masyarakat, barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan
(keluarga, sekolah, dan masyarakat) mencoba merefleksikan peranan
masing-masing.
Pertama, lembaga keluarga adalah
lembaga pendidikan yang utama dan pertama.
Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kedua, bagaimana pembinaan moral
dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
Ketiga, bagaimana kehidupan sosial
ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan
remaja atau tidak. Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti
Jakarta sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat
dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur
yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu
tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya, anak
cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang lain.
Keempat, bagaimana lembaga
pendidikan di sekolah dalam memberikan bobot yang proposional antara
perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotor anak.
Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.
Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di sekolah.
Kelima, bagaimana pengaruh tayangan
media massa baik media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur
kekerasan dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan. Pengaruh-pengaruh tersebut
maka munculah kelompok-kelompok remaja, gang-gang yang berpakaian serem dan
bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan
ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh
suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau
pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga
(hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa tujuan
jelas.
Apa Jalan Keluar Kita?
Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah
siswa-siswi yang berada dalam golongan usia remaja, usia mencari identitas dan
eksistensi diri dalam kehidupan di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas
itu, peran aktif dari ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu
melancarkan pencapaian kepribadian yang dewasa bagi para remaja. Ada beberapa
hal kunci yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama.
Sikap mau berdialog antara orangtua,
pendidik di sekolah, dan masyarakat dengan remaja pada umumnya adalah
kesempatan yang diinginkan para remaja. Dalam hati sanubari para remaja
tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari
orang tua. Tetapi sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas
mereka dalam keluarga, di sekolah ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak
memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap monologis.
Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu membuka kesempatan
untuk mengadakan dialog dengan para remaja, kaum muda dan anak-anak, entah
dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Kedua, menjalin pergaulan yang
tulus. Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak
mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu
sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani
mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai orangtua
yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap sebagai orangtua
kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.
Ketiga, memberikan pendampingan,
perhatian dan cinta sejati. Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa
mereka telah mencintai anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri
menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintaianak secara sempurna.
"Saya telah memberikan segala-galanya", itulah keluhan seorang ibu
yang merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di sekolah dan di
masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya.
Yang perlu dipahami bahwa setiap
individu memerlukan rasa aman dan merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu
kebutuhan pokok yang yang pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan "kasih sayang" yang dalam
masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa aman, dan
perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan usaha-usaha dan
perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta yang tulus, dan sikap mau
berdialog, maka para remaja akan mendapatkan rasa aman, serta memiliki
keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan pendapatnya.
Lewat kondisi dan suasana hidup
dalam keluarga, lingkungan sekolah, ataupun lingkungan masyarakat seperti di
atas itulah para remaja akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan
kepribadian yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan
tekanan-tekanan batin yang mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka
tampilkan benar-benar merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka
sendiri yang sebenarnya.
sumber : blogger
Tidak ada komentar:
Posting Komentar